Minggu, 15 September 2013

Pengalaman yang Melampaui Karya Seni Rupa

Estetika Sosial: Pengalaman yang Melampaui Karya Seni Rupa
oleh Embun Kenyowati E.
Lukisan Guernica yang disebut-disebut sebagai karya puncak (masterpiece) Pablo Picasso.
1. PENGANTAR
ANGIN sejuk yang berhembus dan selembar daun jatuh dapat menyentuh perasaan seseorang. Demikian juga kondisi sosial yang kacau balau tanpa panduan arah nilai moral yang jelas yang telah menyebabkan berbagai konflik di antara anggota masyarakat, dikarenakan keadaan yang dirasakan tidak adil, tidak nyaman, tidak aman, menyakitkan, dalam kehidupan bersama. Ini adalah soal kepekaan menangkapnya, soal estetik, dalam lukisan tanpa bingkai.

Sesungguhnya, tidak ada yang baru dari pengertian estetika sosial dalam kaitannya dengan seni rupa. Estetika sosial adalah estetika kontekstual, berangkat dari pengalaman sehari-hari yang dialami seniman maupun penikmat karya seni rupa yang terwujud dalam penciptaan karya dan apresiasi karya, terkait dengan konteks sosial. Dalam perkembangan seni rupa Modern di Indonesia, perbincangan tentang estetika kontekstual telah pernah mencuat dan mewarnai perdebatan tentang kaitan antara seni dan masyarakat, yang mengangkat tema-tema sosial dalam karya seni rupa. Seperti telah dituliskan “ada semacam kepercayaan umum bahwa unsur estetika yang telah ditegaskan oleh sejarah Indonesia adalah keyakinan  pada adanya rasa tanggung jawab dan komitmen sosial dari para seniman.” (1) Namun justru sebaliknya konsep estetika sosial ini baru muncul (kembali?) dalam ranah teori.

Estetika, secara umum selama ini dimengerti sebagai studi tentang keindahan dan karya seni. Setelah perjalanan dan perdebatan panjang, baru akhir-akhir ini lebih difahami bahwa estetika, seperti makna aslinya dari bahasa Yunani, adalah pengalaman inderawi. (2) Estetika, sebagai pengalaman inderawi adalah studi tentang cara berpengetahuan manusia (epistemologi) menimbulkan pengetahuan langsung yang sangat ‘instingtif’ tentang suatu objek (apa saja), lalu menimbulkan persepsi yang sudah dimuati latar belakang subyek (pengetahuan sebelumnya, usia, budaya, kelas, ras, gender) yang menginderai, dan menimbulkan, pengetahuan, perasaan dan penilaian (judgment), dan dapat terwujud dalam tindakan tertentu yang terkait dengan nilai yang dianutnya, yang lalu lebih sering dikaitkan dengan wilayah praksis dan nilai.

Estetika adalah ilmu tentang pengalaman inderawi, seperti yang disampaikan Alexander Baumgarten (1714-1762), filsuf Jerman, penggagas Estetika sebagai disiplin ilmu yang mandiri, dalam karyanya yang berjudul Aesthetica (1750). Estetika selama ini dianggap bukan ilmu pengetahuan. Estetika adalah ilmu pengetahuan inderawi (sensual cognition). Selama ini ilmu pengetahuan dikaitkan dengan rasionalitas. Estetika sebagai pengetahuan inderawi dianggap lebih rendah kedudukannya dibandingkan rasio. Estetika diletakkan di wilayah nilai, terkait indah dan tidak indah, selera, rasa suka dan tidak suka. Estetika melampaui hal-hal tersebut dan merupakan muara bagi pertemuan berbagai disiplin ilmu (dari seni hingga kedokteran).

Pengalaman inderawi selama ini juga hanya dikaitkan dengan pengalaman melihat dan mendengar, dalam seni, terkait karya seni rupa dan musik. Hal ini disebabkan anggapan dalam pemikiran Barat yang diusung oleh Aristoteles dan diperkuat oleh John Hospers (1918-2011), ahli estetika Modern, terkenal dengan gagasan ‘aesthetic attitude’, tentang adanya indera lebih tinggi (mata untuk melihat, dan telinga untuk mendengar) dan indera lebih rendah (membau, mengecap, dan meraba). Pengetatan wilayah indera yang diklasifikasikan tinggi-rendah, juga membatasi kerja indera lainnya, yang dulu oleh pemikiran Barat yang juga kita anut adalah bahwa indera lainnya menyangkut persoalan praktis dan mungkin lebih rendah, seperti membau (wewangian, parfum, dan bau lainnya), pengecapan (asin manis, enak, dll) dan perabaan (tekstur halus,lembut,kasar, keras, dll). Ketiga wilayah ini pada saat ini telah menjadi bagian dari estetika makanan, parfum, fashion, desain produk, dll. Hal yang paling disembunyikan sejak Plato, bahkan oleh Sokrates, tentang indera ini adalah terkait pengalaman inderawi terkait dengan seksualitas (menurut spekulasi penulis mungkin akan menjadi cabang ilmu di masa depan, tanpa dikaitkan dengan pornografi).

Tampaknya peradaban ‘tinggi’ jaman Pencerahan di Barat, telah memaknai estetika hanya melingkupi wilayah keindahan dan karya seni, khususnya karya seni indah (fine art), yang merujuk pada kegiatan mencipta dan menikmati kemewahan waktu luang dari para borjuis. Konsep estetikanya adalah estetika keindahan, yang dianggap bernilai tinggi, agung, lebih dan bersifat personal  atau individual tetapi dianggap berlaku universal (Immanuel Kant). Di Indonesia sering disebut dengan istilah estetika universalisme. Hal tersebut juga cukup lama menguasai pikiran kita semua, bahkan hingga saat ini pada sebagian orang dan sebagian akademisi.

Paradigma estetika keindahan telah menjadi bagian dari isi intelektualitas manusia, selama berabad-abad, dan menjadi mitos tunggal dalam keyakinan kita. Meskipun telah lahir konsep dan teori baru, tetap saja ia masih meninggalkan jejaknya yang kuat. Di antara yang berhasil membongkarnya adalah gerakan avant garde, yang meliputi hampir semua aliran dan gerakan seni termasuk di dalamnya realisme sosial, surrealism, misalnya, namun gerakan ini juga masih terjebak dalam lingkup elitisme seni yang mengusung gagasan ‘seni untuk seni’.

Teori Kritik Ideologi, melalui pemikir-pemikirnya, mengkritik otonomi seni, salah satunya adalah Adorno. Bagi adorno, karya seni memiliki double character, yaitu otonom sekaigus sosial. Ideologi estetik mencerahkan kita bahwa selalu ada ideologi dibalik karya seni yang dianggap indah dan agung, serta transenden, karena adanya status sosial tertentu dari kelompok tertentu yang mengusungnya, padahal ia juga adalah materialitas dan ketubuhan, dan menyangkut hal-hal yang khusus dan bebas/free particulars (Eagleton, 1990). Namun gagasan ideologi estetik, juga masih membawa kesan elitisme seni.

Posmodernisme memberi ruang baru bagi gagasan estetika yang serba mungkin, dengan berbagai idiom yang bercampur aduk. Definisi seni dan estetika dinyatakan dalam bentuk nenabrak dan melampaui  batas-batas definisi modern yang kita fahami. Demikian pula, Feminisme membongkar estetika keindahan yang meskipun seperti dipersembahkan kepada perempuan karena dianggap bernuansa feminin, justru menjebak perempuan dalam rayuan bernuansa paksaan patriakhi, dan mengusung hal yang dahulu disingkirkan oleh pemikiran yang dikuasai laki-laki, seperti soal tubuh/ketubuhan, yang menjijikkan (disgusting), yang menakutkan (horror) yang dihinakan, direndahkan (abject) dan sebagainya, seperti tergambar dalam karya seniman feminis Barat, Georgia O’Keefee (1887-1986), Red Canna (1923), yang lukisan bunga kana nya dianggap erotis, Carolee Schneemann (lahir 1939),  Interior Scroll, 1975, Jana Sterbak (lahir 1955), Vanitas: Fleshdress for albino anorectic, 1987.

Estetika politik (Rancière, 2004), menyampaikan kepada kita bahwa seni tidak otonom, melainkan heteronom. Sebuah karya seni adalah suatu heteronomi kecamuk kehidupan yang para elit politiknya berkutat pada estetik politik (daya persuasi politik) ketimbang politik estetik (kesadaran ada perbedaan dalam wilayah inderawi di ranah hidup bersama orang lain: melalui bahasa, ras, kelas, gender, usia, pendidikan dan budaya pada umumnya). Ketika lahir pemikiran tentang estetika hidup bersama orang lain (polites), disadari bahwa pengalaman inderawi tidak hanya berhadapan dengan karya seni dan alam, tetapi dengan seluruh aspek kehidupan sehari-hari. Karya-karya kontroversial berada di wilayah politik estetik dan estetik politik.

Dari gagasan-gagasan tersebut telah melahirkan pemikiran tentang estetika sosial (Berleant, 2005, 2010), karena pengalaman individu berhadapan dengan pengalaman individu lainnya. Estetika Sosial mungkin bukan gagasan baru tetapi, diangkat kembali, dengan pendekatan filsafat fenomenologi, empirisisme dan pragmatik (3), setelah paradigma estetika lainnya, mungkin dianggap menutup  kemungkinan berbagai gagasan lainnya, terutama di wilayah inderawi kita yang hingga ini masih mengalami hirarkhi, peninggalan pemikiran Aristoteles.

2. ESTETIKA SOSIAL  DAN SENI RUPA
Yang dimaksud dengan estetika sosial adalah segala bentuk pengalaman, individu terhadap lingkungan, juga lingkungan sosial. (Berleant,dalam Light and Smith, 2005, 31). Estetika berada di wilayah pengalaman sehari-hari terkait lingkungan hidup manusia, baik alam maupun sosial. Manusia terikat dengan lingkungannya. Estetika sehari-hari telah memunculkan bidang estetika lingkungan, juga estetika sosial. Didukung oleh kekuatan pengalaman, baik pengalaman yang transenden (spiritual) maupun inderawiah sehari-hari, yang tidak selalu indah,bisa jelek (ugly) bahkan mungkin menjijikan (disgusting). Estetika menawarkan kriteria kuat tentang nilai. Pengalaman memiliki dua aspek penting yaitu inderawi dan makna. Pengalaman ini objeknya dapat berupa karya seni, alam, lingkungan maupun dunia sosial. Dunia ini adalah dunia pengalaman.

Membicarakan karya seni rupa berciri kontekstual, adalah melampaui karya itu sendiri. (Berleant dalam Light and Smith, 2005, 43) Estetika sosial adalah estetika dari situasi dan kondisi yang bersifat kontekstual (ibid, 49), terhadap hal yang paling sering dialami, dilihat, didengar, dirasakan secara intens baik dari sisi penciptaan maupun apresiasi. Karya seni rupa dianggap representasi realitas, termasuk representasi realitas sosial. Gagasan tentang representasi hanya merupakan salah satu dari teori penggambaran realitas melalui karya seni rupa, karena anggapan-anggapan yang lain, seperti peniruan realitas (mimesis), penyembunyian realitas (lewat simbolisasi), dan penciptaan realitas (konstruksi, simulasi) merupakan anggapan-anggapan lain yang dapat memiliki kedudukan yang sama. Untuk membahas tentang realitas, maka anggapan mana yang akan menjadi dasar pemikiran kita menjadi penting. Mungkin saja para seniman tidak memikirkan hal ini dalam berkarya, akan tetapi para kritikus dan teoretikus lah yang mungkin melakukan hal tersebut.

Berleant (2010) menyatakan pengalaman inderawi tidaklah selalu bersifat positif, dan jika itu melukai hati, menyakitkan, mempunyai efek yang jahat dan merusak, pengalaman estetik ini membawa pada wilayah negatif. Nilai estetik juga dapat tampil secara tidak memuaskan, menyakitkan, jahat bahkan menghancurkan. Kepekaan inderawiah diliputi dengan nilai negatif.

3. AKAR ESTETIKA SOSIAL: Kepekaan inderawi individu dan kepekaan sosial yang berciri Etis.
Hal yang dapat dikatakan sebagai akar dari kemampuan menginderai lingkungan sosial, adalah bagaimana mendidik penglihatan. Dalam pengantar bukunya, Ken Smith et al, 2005, mengutip Richard Gregory (Psikolog dari aliran empirisisme), menuliskan bahwa kita begitu terbiasa dengan kegiatan melihat sehingga kita tidak pernah membayangkan untuk menyadari bahwa terdapat persoalan yang harus diselesaikan di wilayah itu. Sementara anak manusia belajar bagaimana berjalan, belajar berbicara atau pun membaca, kita tidak pernah belajar untuk melihat. Jika di wilayah bahasa tulis ada istilah buta huruf (illiterate) dan ‘melek huruf ‘ (literate), maka di wilayah rupa/visual terdapat istilah ‘melek visual’. Sebagai sebuah konsep dalam komunikasi visual, visual literacy adalah kesadaran penglihat atas kesepakatan (convention) melaluinya makna citra atau gambar visual diciptakan dan difahami. (4) Sama dengan di wilayah bahasa tulis, maka faktor yang sama adalah bahwa ‘melek visual’ ini juga persoalan ketrampilan yang dipelajari.

Di samping mendidik penglihatan, terdapat gagasan tentang ‘perhatian’ (attention) dalam kaitan dengan pengalaman inderawi di wilayah sosial. Psikologi William James (5) adalah salah satu bidang ilmu yang sangat menekankan pentingnya perhatian dalam proses persepsi dan kognisi. Dalam fenomenologi, yang menjadi dasar dari estetika sosial Berleant adalah pengalaman subjektif yang didasarkan pada tindakan merujuk. Pengalaman kesadaran adalah tentang sesuatu, tentang objek atau peristiwa. Pengalaman tentang sesuatu ini disebut dengan intensionalitas. Intensionalitas dalam fenomenologi tidak dapat dilepaskan dari gagasan ‘having attention’ secara psikologis.

Cara kerja kesadaran terkait dengan perhatian cukup problematik. Susan Blackmore (2004,116) mempertanyakan apakah kesadaran yang mengarahkan perhatian ataukah kesadaran merupakan hasil dari memberikan perhatian ataukah bukan keduanya?  Blackmore pun mengutip William James tentang ‘perhatian’ ini, yaitu bahwa:

Everyone knows what attention is. It is the taking possession by the mind, in clear and vivid form, of one out of what seems several simultaneously possible objects or trains of thought. Focalization, concentration, of consciousness are of its essence. It implies withdrawal from some things in order to deal effectively with others. (6)
Tidak ada proses kesadaran tanpa perhatian. Tetapi terdapat pertanyaan mendasar, apakah kita yang memberi perhatian ataukah sesuatu yang menarik perhatian kita? Menurut James, perhatian dapat bersifat pasif, tidak sengaja, tanpa usaha, atau perhatian dapat bersifat aktif dan disengaja (voluntary). Perhatian yang disengaja selalu diperoleh (derived), kita tidak pernah berusaha memperhatikan suatu objek  kecuali demi suatu ketertarikan tertentu yang masih samar untuk dihubungkan dengan hal menarik secara langsung. Efek langsung dari perhatian adalah kegiatan mempersepsi, menangkap, membedakan, mengingat, dan reaksi waktu yang lebih pendek. Kedekatan merupakan ciri proses perhatian, melalui akomodasi dan penyesuaian organ inderawi dan persiapan antisipasi  dari dalam untuk pusat ideasional  terkait dengan objek perhatian yang kita tuju. James menyatakan tentang apa yang disebut sebagai persiapan ideasional: ”The effort to attend to the marginal region of the picture consist in nothing  more or less than the effort to form as clear an idea as is possible of what is there potrayed.” (7)
Perhatian sebagai ciri yang mendasari psikologi dan fenomenologi merupakan hal penting yang kurang dibahas secara filosofis, saat ini menjadi dasar bagi estetika sosial. Pada akhirnya estetika adalah teori tentang perhatian dan kepekaan (sensibility), Kepekaan individu dan sosial (individual and social sensibility), yang merupakan akar dari daya kemampuan untuk kepekaan etis. Kepekaan individual dan kepekaan sosial yang berciri etis. Bagaimana kita peduli dengan perilaku dan kondisi sosial kita?

4. ESTETIKA (KEPEKAAN) SOSIAL SEBAGAI KEPEDULIAN
Perhatian melahirkan kepedulian terhadap suatu hal atau objek. Kepedulian lebih sering dikaitkan dengan etika daripada estetika.Kepedulian melibatkan perhatian, simpati dan empati serta tindakan tertentu yang terkait dengan perilaku moral. Tidak terlalu banyak orang yang memberikan perhatian pada proses bagaimana hingga orang menjadi peduli. Kepedulian berawal dari sense (estetik) yang dimulai dari indera penglihatan, yang akan membentuk sensitivity dan sensibility.

Untuk alasan tersebut di atas dalam subbab ini akan dibahas hubungan antara estetik dan kepedulian dalam wilayah etik yang nantinya akan dibawa ke ranah sosial. Dalam buku Aesthetics and Ethics, Essays in the Intersection, (8) Jerrold Levinson menyatakan bahwa pertemuan antara estetika dan etika, terdapat pada tiga wilayah penelitian. Pertama, adalah persoalan estetika dan etika sebagai cabang teori nilai dalam filsafat (axiology). Kedua, isu-isu etis di wilayah estetis, terkait dengan praktek seni. Dan ketiga, adalah isu estetik di wilayah etik. Pada umumnya pemikir memberikan perhatian pada yang pertama dan kedua, tetapi tidak ada tulisan menyangkut yang ketiga.

Atas dasar temuan Levinson tersebut, penulis mencoba mengisi bagian ketiga tersebut dengan membahas persoalan estetika di wilayah etika, khususnya etika hidup bersama dengan mengangkat kembali istilah yang telah ada dalam bahasa Indonesia (9) yaitu “meng’indah’kan” yang berarti memberikan perhatian secara inderawi sekaligus berciri mempedulikan terhadap sesuatu atau terhadap orang lain, di ranah hidup bersama orang lain (sosial). Di sini, mengindahkan yang berarti mempedulikan dapat berarti membuat indah dalam hubungan dengan sesuatu atau orang lain. Proses estetik berlangsung dan menghasilkan yang etik.

Kepedulian Pada Perbedaan di wilayah sosial
Berangkat dari perbedaan dalam melihat, yang melahirkan perbedaan dalam persepsi, sudut pandang dan melebar pada perbedaan pandangan dunia, yang sebetulnya persoalannya telah diungkapkan secara implisit melalui cara pandang terhadap dalam seni, tulisan ini bermaksud mengangkat persoalan penghargaan terhadap perbedaan melalui estetika sosial.

Mitos equality yang selalu menyertai manusia menjadikan manusia berada pada gerak antara ingin dianggap sama tetapi ingin sekaligus dianggap berbeda untuk menunjukkan identitas diri, karena makna identitas adalah ‘sama dengan dirinya sendiri’. Manusia selalu memandang diri dan orang lain (the other) tidak dengan standar yang sama. Penerapan pemahaman terhadap orang lain akan selalu menggunakan standar ganda. Ini menjadikan kegagalan pemahaman terhadap orang lain karena selalu diukur melalui diri sendiri ala idola-idola Francis Bacon.

Sejarah telah membuktikan bahwa umat manusia sulit sekali belajar tentang perbedaan ini. Dimulai dari lamanya membedakan antara manusia dan non-manusia, untuk merendahkan manusia lain, terutama terhadap perempuan. Bahwa Aristoteles sang bijak merendahkan perempuan, dan disamakan dengan budak. (10)
Bahkan ia mengusung perbudakan untuk melanggengkan cara hidup yang didasarkan pada rasionalitas. Persoalan perbudakan ini baru disahkan secara hukum lebih dari tujuh belas abad kemudian di Amerika. Lalu anggapan bahwa orang dari wilayah lain lebih rendah derajatnya, (Yunani: barbaros). Bahwa satu kelompok atau kelas merasa lebih tinggi dan merendahkan yang lain sehingga mengeksploitasinya (Marx). Dan bahwa individu tidak sama terutama jika di kaitkan dengan pendidikan dan opini politiknya.

Salah satu sebab kegagalan melihat perbedaan ini adalah keinginan manusia untuk menjadi sama. Mitos equality yang menjadi jiwa demokrasi mewarnai pemikiran manusia. Kegagalan cita-cita ini disebabkan oleh cara berpikir manusia yang tidak keluar dari dirinya, seperti yang telah lama menjadi persoalan seperti yang dipikirkan Francis Bacon tersebut. Selalu digunakan standar ganda dalam menangani persoalan di wilayah publik. “Apa yang harus kau lakukan tidak harus kulakukan. Apa yang kulakukan sudah benar adanya.” Sementara praktek ‘verstehen’ (memahami) di tingkat teoretis maupun praktis seperti yang dicita-cita hermeneutika ilmu-ilmu humaniora, belum pernah berjalan mendekati pencapaiannya. Mungkin kita harus selalu sadar untuk mempraktekkannya. Cita-cita demokrasi yang berdasar mitos equality namun menyadari perbedaan lewat identity masih merupakan problem besar kemanusiaan. Demokrasi di wilayah estetik visual belum terjadi. Bersit-bersit ke arah itu telah mulai muncul di era posmodern, tetapi tidak kurang yang melahirkan kekerasan di berbagai wilayah di dunia ini.

5. ESTETIKA (KEPEKAAN) SOSIAL: Positif dan Negatif
Perhatian melahirkan kepedulian terhadap suatu hal atau objek. Kepedulian lebih sering dikaitkan dengan etika daripada estetika. Kepedulian melibatkan perhatian, simpati dan empati serta tindakan tertentu yang terkait dengan perilaku moral. Tidak terlalu banyak orang yang memberikan perhatian pada proses bagaimana hingga orang menjadi peduli. Kepedulian berawal dari sense yang dimulai dari indera penglihatan, yang akan membentuk sensitivity dan sensibility.

Kepekaan ini tidak hanya bersifat afirmatif-positif melainkan dapat bersifat negatif. (Berleant: 2010). Masih tampak asing bagi kita untuk berbicara tentang estetika negatif, pada bidang yang terbiasa berbicara tentang kekayaan nilai seni dan keindahannya. Tetapi nilai estetik tidak lagi bicara tentang nilai museum (di Indonesia kesadaran tentang museum mulai berkembang), dorongan yang indah-permai dimana nilai estetik seni dianggap tinggi dan terpisah dan tidak berbahaya. Pada kenyataannya, telah terjadi konflik nyata antara nilai estetik dengan nilai  moralitas, agama, ekonomi, lingkungan dan kehidupan sosial. Kita dapat berbicara tentang nilai estetik negatif, ketika pengalaman bersifat tidak menyenangkan, menekan, atau berbahaya. Pengalaman estetik tidak selalu ramah. Estetika negatif meliputi nilai negatif. Estetika negatif adalah wakil untuk moral dan diterapkan pada persoalan sosial.

Apa sebetulnya yang dimaksud dengan negativitas estetik dan apa situasi yang negatif itu? Tampaknya tidak mungkin membicarakan estetika negatif dari sudut estetika modern. Bagaiman mungkin nilai keindahan dan seni adalah negatif? Nilai estetik dapat hadir secara tidak memuaskan, menyakitkan, menekan, dan bahkan dengan cara merusak. Nama dari pengalaman inderawiah yang tidak melahirkan nilai positif yang jelas, berada di bawah ‘keindahan’, dinamakan Berleant sebagai pengalaman estetik negatif. Nilai berada inheren dalam lingkup dan situasi estetik. Nilai-nilai negatif seperti basi, rusak, dangkal, menyerang, menghina, bahkan jahat, semuanya berada di ranah pengalaman, karena nilai estetik berpusat pada persepsi inderawi. Estetik negatif ini yang paling terasa pada lingkungan. Polusi adalah estetik negatif.Tak ada yang menolak bahwa polusi udara adalah gangguan lingkungan. (Memang akan menjadi berbeda jika gangguan tersebut ditesuri pada asal-usulnya, misalnya menyangkut kebijakan publik pemerintah tentang penggunaan kendaraan bermotor, antara produksi dan konsumsinya yang mengakibatkan polusi udara).

Estetika tragedi dapat dikatakan sebagai negativitas estetik. Bagaimana orang dapat menikmati karya-karya tragis? Apakah mereka bersimpati dan berempati kepada yang tertimpa tragedi lalu bergembira bahwa tragedi itu tidak menimpanya? Tetapi itu dalam karya seni. Saat ini mulai terjadi penikmatan tragedi bukan di wilayah karya, sebagai suatu genre seni, tetapi juga di wilayah faktual. Orang berwisata dan berfoto-ria, di wilayah bencana. Bahkan seorang Komposer Karlheinz Stockhausen, menyatakan bahwa penyerangan terhadap WTC New York, September 2001, sebagai ‘the greatest work of art ever’. Meskipun orang terperangah, tetapi  ia tidak dihargai. (11) Batasan seni dan estetika dipertanyakan kembali. Dan realitas selalu berwajah dua.

6. ESTETIKA SOSIAL KARYA SENI RUPA:  ‘Mengabadikan’ atau ‘Melanggengkan’ Realitas Sosial?

Sub-judul diatas menggunakan dua kata bentukan yang arti harfiahnya asal katanya, ‘abadi’ (bahasa Indonesia) dan ‘langgeng’ (serapan dari bahasa Jawa) kurang lebih sama Tetapi dalam anggapan penulis dua kata tersebut memiliki perbedaan konotasi makna. Mengabadikan, sering dianggap sebagai membuat sesuatu berlangsung lama, menjadi abadi dengan niat karena tidak dapat diulang dan karena ada makna positif di sana, sebagai bentuk pembelajaran dari masa lalu/sejarah. Melanggengkan memiliki makna ingin membuatnya berlangsung lama karena adanya ketidak-tahuan, atau kesengajaan agar sesuatu terus terjadi dalam makna peyoratif atau negatif. Subjudul di atas merupakan pertanyaan kritis terhadap fenomena karya seni rupa, dan juga pada senimannya, kurator, institusi, dll. Dengan berbagai teori seni yang mendasarinya terkait proses penciptaan karya (mimesis, representasi, simbolisme dan simulasi).

Terkait dengan keindahan karya, masih menjadi pertanyaan, ‘keindahan’ itu ada dimana? Pada karya (objek) atau pada penglihatnya? Jika pada karya, yang oleh orang lain dikatakan tidak indah, bahkan jelek (ugly) dan menimbulkan perdebatan, bukankah keindahan itu adalah konsep yang sangat subyektif?  Terkait dengan objek atau apa yang disebut karya seni, seni telah memasuki wilayah definisi yang sangat luas. (12)
Jika dikaitkan dengan tema Pameran Seni Rupa Nusantara ‘Meta-Amuk’ yang mencoba mengkritisi realitas sosial (politik), budaya, yang tergambar dalam karya-karya seni rupa perupa Nusantara, maka pedapat dipertanyakan kembali proses kreatif yang dijalani oleh para seniman. Kita tidak memungkiri ketulusan dan ‘independensi’ seniman dalam berkarya (meskipun ada kondisi yang berbeda dari hal ini), tetapi efek sosial (politik) budaya, yang ditimbulkannya, akan dapat menjadi lain oleh narasi para kurator, institusi, akademisi dan juga pasar.

Pengalaman dianggap mendahului dan melampaui suatu karya seni, demikian juga pada seni rupa. Pengalaman yang mendahului,dan yang melampaui dapat berada di wilayah seniman dan penikmat karya tersebut. Dua sisi yang tak dapat dilepaskan dari adanya sebuah karya seni. Dalam ranah estetika, pengalaman estetik bersifat langsung, sebelum dapat menjadi berbeda karena proses konseptualisasi, dan penilaian (judgment), dan berbagai kondisi yang melatar belakanginya (usia, pendidikan, ras, kelas, gender, dan budaya).

Mungkin sudah tiba saatnya kita perlu mengubah paradigm-paradigma tertentu dalam berbagai bidang kehidupan yang telah membatu dan menjadi mitos-mitos baru. Yang pertama adalah pemahaman kita tentang realitas. Realitas ini pemahamannya milik siapa? Realitas ini sungguh ada atau ilusi belaka, dan kalau ilusi apakah salah? Tentu ini bidang yang sangat filosofis, tapi tentu kita dapat saja mengkonstruksinya berdasarkan cara pandang dunia yang kita jalani. Yang kedua tentang realitas sosial. Realitas sosial begitu luas.Dalam makalah ini disesuai dengan turunan tema ‘meta amuk’, yang dalam pemahaman penulis adalah realitas sosial sebagai konflik sosial, yang mungkin bersifat politik, budaya (dapat bermakna gagalnya hidup bersama orang lain,atau dalam arti pengaruh perseteruan ideologi tertentu), karena dikaitkan dengan situasi sosial politik menjelang pemilu 2014. Yang ketiga adalah wilayah studi estetika. Paradigma Estetika kini bukan hanya keindahan dan karya seni, tetapi telah kembali pada pengertian awalnya tentang pengalaman inderawi. Pengalaman inderawi yang dialami oleh manusia, menimbulkan pengetahuan, penilaian, yang tidak murni berdiri sendiri pada individu, tetapi berefek sosial (dan tentu politik) dan budaya .Yang keempat adalah bidang seni rupa sebagai bentuk karya ciptaan manusia (dalam hal ini seniman/perupa). Bagaimana keberadaan karya tersebut, secara ontologis, dan secara estetis dan secara sosial? Sesungguhnya karya seni rupa (kontektual) ada dimana? Pada lukisan itu sendiri (form), pada isi, tema (content) atau pada konteksnya atau pada interpretasi terhadapnya? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak lepas dari pengaruh gagasan dekonstruksi Derrida yang menanggap bahwa makna itu tidak bersifat stabil, melainkan labil, berubah terus sesuai konteksnya (13), untuk tidak menjadi jejak yang sulit dihapus dan membatu menjadi mitos baru.

Mengambil contoh karya lukis Dunia, karya Pablo Picasso (1881-1973), Guernica, (Wikipedia: oil on canvas, 349 x 776 cm, warna : abu-abu, hitam, putih, 1937, Museum Reina Sofia, Madrid, Spanyol). Karya ini dianggap telah berjasa dalam menggambarkan peristiwa pengeboman Guernica, sebuah desa di Spanyol, yang mengakibatkan korban masyarakat sipil yang tak berdosa. Guernica menggambarkan penderitaan manusia, binatang dan bahkan bangunan yang hancur oleh kekerasan dan kekacauan.banyak interpretasi yang dilontarkan terhadap karya tersebut. Namun interpretasi saling berbeda dan bahkan berlawanan. Picasso sendiri mengatakan bahwa ia menggambar apa yang ia gambar. Interpretasi mungkin juga benar.

Akan tetapi bukankah karya ini mengingatkan secara terus menerus akan peristiwa yang menyakitkan dan menghancurkan manusia. Efek mengingatkan dapat membentuk estetik positif atau pun negatif, kecuali kita pelupa. Positif, jika menjadikan pembelajaran agar hal tersebut tidak terjadi lagi. Negatif merupakan bentuk pembelajaran akan apa yang pernah dilakukan dalam sejarah tentang perang dan kebencian terhadap sesama manusia dan perlu dipertahankan demi harga diri?

7. KESIMPULAN
Membahas estetika sosial dalam seni rupa, adalah kembali kepada estetika kontekstual. Estetika berbicara tentang pengalaman, dimulai dari pengalaman inderawi yang bersifat kontekstual dengan lingkungan, lingkungan alam, lingkungan sosial, berdasarkan kepekaan inderawi individu seniman atas keadaan di sekitarnya, atas situasi sosial yang berlangsung, yang berakar pada kepekaan etis. Meskipun lalu ada pertanyaan tentang lalu karya seni rupa ada dimana? Apa batas-batasnya jika yang dibicarakan adalah hal-hal di luar karya? Namun akan ada jawaban bahwa karya seni rupa melampaui karya tersebut (beyond the work of art), atau meta-karya seni rupa, yang dapat berisi meta-amuk.

Terdapat dua model estetika sosial positif dan dan negatif, tetapi intinya adalah mengacu pada tuntutan kenyamanan dan keadilan secara sosial. Pengalaman akan yang tidak menyenangkan dapat diterjemahkan ke dalam ‘keindahan’ pengalaman individual yang bersifat subjektif. Mungkin apa yang disampaikan Plato dalam Politeia masih berlaku disini, bahwa keindahan, bukan hanya ada pada materi dan ide, tetapi keindahan tertinggi adalah ‘keadilan dalam Negara’ (justice in a State), dalam ranah hidup bersama orang lain. ***
Tulisan ini telah dipresentasikan dalam acara "Temu Perupa", Rabu, 8 Mei 2013 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
Catatan Kaki:
(1) Lihat buku Brita L. Miklouho-Maklai, Menguak Luka Masyarakat, Beberapa aspek Seni Rupa Kontemporer Indonesia Sejak 1966, PT Gramedia Pustaka Utama, 1997

(2) Dari bahasa Yunani aesthēsis yang artinya menginderai (dalam bahasa Inggris diartikan: to sense, to perceive, to feel).

(3) Berleant, Arnold, 2010, hal.9

(4) Messaris and Moriarty, Visual Literacy Theory, dalam Ken Smith et al, A Handbook of Visual Communication, Lawrence Erlsbaum Associates Publishers, 2005, hal.481-502, dikutip ulang dari Disertasi penulis.

(5) James, William. Mortimer J. Adler, ed.in chief, Great Books of Western World, no.53, bab XI, Attention, hal 260-298, dikutip ulang dari disertasi penulis

(6) Balckmore, Susan, Consciousness, An Introduction, Oxford University Press, 2004, hal 51., terjemahan kutipan: ”Setiap orang tahu apa itu perhatian. Ia adalah pengambilan hak oleh kesadaran dalam bentuknya yang kuat dan jelas, satu dari apa yang tampaknya merupakan jalan pikiran dan objek yang hadir secara simultan. Fokalisasi, konsentrasi kesadaran adalah esensinya. Ia mengimplikasikan ketidakperhatian terhadap sesuatu agar dapat berurusan secara efektif dengan lainnya.” Dikutip ulang dari Disertasi penulis, dengan perbaikan.

(7) Op.Cit., hal.285, terjemahannya: “Usaha untuk memperhatikan bagian pinggir lukisan terdapat pada usaha untuk membentuk sejelas mungkin gagasan  tentang apa yang digambarkan di sana”, dikutip ulang dari disertasi penulis dengan perbaikan/revisi

(8) Levinson, Jerrold, Ed., Aesthetics and Ethics, Essays in the Intersection, Cambrigde University Press,  2001, hal. 1

(9) Dalam KBBI, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2007, pada halaman 429, disebutkan arti kata indah: 1. kata sifat, dalam keadaan enak dipandang; cantik; elok 2. kata kerja, peduli (akan); menaruh perhatian (akan); mengindahkan : memedulikan; memerhatikan; meresapkan ke dalam hati (nasihat dsb). Dikutip dari Disertasi penulis dengan perbaikan.

(10) Arivia, Gadis, Filsafat berperspektif Feminis, Yayasan Jurnal Perempuan, 2003, bagan 2 Pendapat Filsuf Laki-laki tentang Perempuan Sepanjang Masa, hal. 75, dikutip ulang dari Disertasi penulis.

(11) Danto, Arthur C., The Abuse of Beauty, Carus Publishing Company, Sixth Printing, 2006, hal.18

(12) Mengacu pada buku-buku: Cythia Freeland, But Is It Art? (2001); Arthur C.Danto, The Abuse of Beauty, (2003) dan Carolyn Korsmeyer, Gender and Aesthetics,(2004) dalam bab 5, What is Art (art is what?)

(13). Eaton, Marcia Muelder, Basic Issues in Aesthetics, terjemahan Embun Kenyowati, Persoalan-Persoalan Dasar Estetika, Salemba Humanika, 2009

DAFTAR PUSTAKA
Berleant, Arnold, Sensibility and Sense, The Aesthetic Transformation the of Human World, Imprint Academic, 2010

Blackmore, Susan, Consciousness, An Introduction, Oxford University Press, 2004

Danto,Arthur C., The Abuse of Beauty, Aesthetics and The Concept of Art, Carus Publishing Company, 4th printing, 2006

Eaton, Marcia Muelder, Basic Issues in Aesthetics, terjemahan Embun Kenyowati, ‘Persoalan-Persoalan dasar Estetika’, Salemba Humanika, 2009

Embun Kenyowati E., “Ilusi Dalam seni, dari  Seni Visual ke Teori-Teori Seni dan Implikasinya bagi Pendidikan”, Disertasi, dengan Promotor Prof.Dr.Toeti Heraty Noerhadi dan Ko-Promotor Prof.Dr.Alois Agus Nugroho, 2009 (catatan : beberapa bagian dari tulisan ini mengutip disertasi pribadi penulis, belum pernah dipublikasikan,dengan perbaikan/revisi).

Freeland, Cynthia, But Is It Art?  Oxford University Press, 2001

Korsmeyer,Carolyn, Gender and Aesthetics, An Introduction, Routledge, Taylor and Francis Group, 2004

Kraut, Robert, Artworld Metaphysics, Oxford University Press, 2007

Light, Andrew, and Smith, Jonathan M.,(Eds), The Aesthetics of Everyday Life, Columbia University Press, 2005

Miklouho-Maklai, Brita L., Menguak Luka Masyarakat, Beberapa Aspek seni Rupa Kontemporer  Indonesia, Sejak 1966, Terjemahan  Joebaar Ajoeb, Gramedia Pustaka Utama, 1997

Rancière, Jacques, The Future of the Image, Translated by Gregory Elliott, English Edition by Verso, 2007

Shaviro, Steven, Without Criteria, Kant, Whitehead, Deleuze and Aesthetics, MIT, 2009
*) Pengajar Filsafat Seni, Departeman Filsafat, Fakultas Ilmu-ilmu Budaya, Universitas Indonesia

1 komentar: