1. PENGANTAR ANGIN
sejuk yang berhembus dan selembar daun jatuh dapat menyentuh perasaan
seseorang. Demikian juga kondisi sosial yang kacau balau tanpa panduan
arah nilai moral yang jelas yang telah menyebabkan berbagai konflik di
antara anggota masyarakat, dikarenakan keadaan yang dirasakan tidak
adil, tidak nyaman, tidak aman, menyakitkan, dalam kehidupan bersama.
Ini adalah soal kepekaan menangkapnya, soal estetik, dalam lukisan tanpa
bingkai.
Sesungguhnya, tidak ada yang baru dari pengertian
estetika sosial dalam kaitannya dengan seni rupa. Estetika sosial adalah
estetika kontekstual, berangkat dari pengalaman sehari-hari yang
dialami seniman maupun penikmat karya seni rupa yang terwujud dalam
penciptaan karya dan apresiasi karya, terkait dengan konteks sosial.
Dalam perkembangan seni rupa Modern di Indonesia, perbincangan tentang
estetika kontekstual telah pernah mencuat dan mewarnai perdebatan
tentang kaitan antara seni dan masyarakat, yang mengangkat tema-tema
sosial dalam karya seni rupa. Seperti telah dituliskan “ada semacam
kepercayaan umum bahwa unsur estetika yang telah ditegaskan oleh sejarah
Indonesia adalah keyakinan pada adanya rasa tanggung jawab dan
komitmen sosial dari para seniman.” (1) Namun justru sebaliknya konsep estetika sosial ini baru muncul (kembali?) dalam ranah teori.
Estetika,
secara umum selama ini dimengerti sebagai studi tentang keindahan dan
karya seni. Setelah perjalanan dan perdebatan panjang, baru akhir-akhir
ini lebih difahami bahwa estetika, seperti makna aslinya dari bahasa
Yunani, adalah pengalaman inderawi. (2) Estetika, sebagai
pengalaman inderawi adalah studi tentang cara berpengetahuan manusia
(epistemologi) menimbulkan pengetahuan langsung yang sangat ‘instingtif’
tentang suatu objek (apa saja), lalu menimbulkan persepsi yang sudah
dimuati latar belakang subyek (pengetahuan sebelumnya, usia, budaya,
kelas, ras, gender) yang menginderai, dan menimbulkan, pengetahuan,
perasaan dan penilaian (judgment), dan dapat terwujud dalam
tindakan tertentu yang terkait dengan nilai yang dianutnya, yang lalu
lebih sering dikaitkan dengan wilayah praksis dan nilai.
Estetika
adalah ilmu tentang pengalaman inderawi, seperti yang disampaikan
Alexander Baumgarten (1714-1762), filsuf Jerman, penggagas Estetika
sebagai disiplin ilmu yang mandiri, dalam karyanya yang berjudul
Aesthetica (1750). Estetika selama ini dianggap bukan ilmu pengetahuan.
Estetika adalah ilmu pengetahuan inderawi (sensual cognition). Selama
ini ilmu pengetahuan dikaitkan dengan rasionalitas. Estetika sebagai
pengetahuan inderawi dianggap lebih rendah kedudukannya dibandingkan
rasio. Estetika diletakkan di wilayah nilai, terkait indah dan tidak
indah, selera, rasa suka dan tidak suka. Estetika melampaui hal-hal
tersebut dan merupakan muara bagi pertemuan berbagai disiplin ilmu (dari
seni hingga kedokteran).
Pengalaman inderawi selama ini juga
hanya dikaitkan dengan pengalaman melihat dan mendengar, dalam seni,
terkait karya seni rupa dan musik. Hal ini disebabkan anggapan dalam
pemikiran Barat yang diusung oleh Aristoteles dan diperkuat oleh John
Hospers (1918-2011), ahli estetika Modern, terkenal dengan gagasan
‘aesthetic attitude’, tentang adanya indera lebih tinggi (mata untuk
melihat, dan telinga untuk mendengar) dan indera lebih rendah (membau,
mengecap, dan meraba). Pengetatan wilayah indera yang diklasifikasikan
tinggi-rendah, juga membatasi kerja indera lainnya, yang dulu oleh
pemikiran Barat yang juga kita anut adalah bahwa indera lainnya
menyangkut persoalan praktis dan mungkin lebih rendah, seperti membau
(wewangian, parfum, dan bau lainnya), pengecapan (asin manis, enak, dll)
dan perabaan (tekstur halus,lembut,kasar, keras, dll). Ketiga wilayah
ini pada saat ini telah menjadi bagian dari estetika makanan, parfum,
fashion, desain produk, dll. Hal yang paling disembunyikan sejak Plato,
bahkan oleh Sokrates, tentang indera ini adalah terkait pengalaman
inderawi terkait dengan seksualitas (menurut spekulasi penulis mungkin
akan menjadi cabang ilmu di masa depan, tanpa dikaitkan dengan
pornografi).
Tampaknya peradaban ‘tinggi’ jaman Pencerahan di
Barat, telah memaknai estetika hanya melingkupi wilayah keindahan dan
karya seni, khususnya karya seni indah (fine art), yang merujuk pada
kegiatan mencipta dan menikmati kemewahan waktu luang dari para borjuis.
Konsep estetikanya adalah estetika keindahan, yang dianggap bernilai
tinggi, agung, lebih dan bersifat personal atau individual tetapi
dianggap berlaku universal (Immanuel Kant). Di Indonesia sering disebut
dengan istilah estetika universalisme. Hal tersebut juga cukup lama
menguasai pikiran kita semua, bahkan hingga saat ini pada sebagian orang
dan sebagian akademisi.
Paradigma estetika keindahan telah
menjadi bagian dari isi intelektualitas manusia, selama berabad-abad,
dan menjadi mitos tunggal dalam keyakinan kita. Meskipun telah lahir
konsep dan teori baru, tetap saja ia masih meninggalkan jejaknya yang
kuat. Di antara yang berhasil membongkarnya adalah gerakan avant garde,
yang meliputi hampir semua aliran dan gerakan seni termasuk di dalamnya
realisme sosial, surrealism, misalnya, namun gerakan ini juga masih
terjebak dalam lingkup elitisme seni yang mengusung gagasan ‘seni untuk
seni’.
Teori Kritik Ideologi, melalui pemikir-pemikirnya,
mengkritik otonomi seni, salah satunya adalah Adorno. Bagi adorno, karya
seni memiliki double character, yaitu otonom sekaigus sosial. Ideologi
estetik mencerahkan kita bahwa selalu ada ideologi dibalik karya seni
yang dianggap indah dan agung, serta transenden, karena adanya status
sosial tertentu dari kelompok tertentu yang mengusungnya, padahal ia
juga adalah materialitas dan ketubuhan, dan menyangkut hal-hal yang
khusus dan bebas/free particulars (Eagleton, 1990). Namun gagasan
ideologi estetik, juga masih membawa kesan elitisme seni.
Posmodernisme
memberi ruang baru bagi gagasan estetika yang serba mungkin, dengan
berbagai idiom yang bercampur aduk. Definisi seni dan estetika
dinyatakan dalam bentuk nenabrak dan melampaui batas-batas definisi
modern yang kita fahami. Demikian pula, Feminisme membongkar estetika
keindahan yang meskipun seperti dipersembahkan kepada perempuan karena
dianggap bernuansa feminin, justru menjebak perempuan dalam rayuan
bernuansa paksaan patriakhi, dan mengusung hal yang dahulu disingkirkan
oleh pemikiran yang dikuasai laki-laki, seperti soal tubuh/ketubuhan,
yang menjijikkan (disgusting), yang menakutkan (horror) yang dihinakan,
direndahkan (abject) dan sebagainya, seperti tergambar dalam karya
seniman feminis Barat, Georgia O’Keefee (1887-1986), Red Canna (1923),
yang lukisan bunga kana nya dianggap erotis, Carolee Schneemann (lahir
1939), Interior Scroll, 1975, Jana Sterbak (lahir 1955), Vanitas:
Fleshdress for albino anorectic, 1987.
Estetika politik
(Rancière, 2004), menyampaikan kepada kita bahwa seni tidak otonom,
melainkan heteronom. Sebuah karya seni adalah suatu heteronomi kecamuk
kehidupan yang para elit politiknya berkutat pada estetik politik (daya
persuasi politik) ketimbang politik estetik (kesadaran ada perbedaan
dalam wilayah inderawi di ranah hidup bersama orang lain: melalui
bahasa, ras, kelas, gender, usia, pendidikan dan budaya pada umumnya).
Ketika lahir pemikiran tentang estetika hidup bersama orang lain
(polites), disadari bahwa pengalaman inderawi tidak hanya berhadapan
dengan karya seni dan alam, tetapi dengan seluruh aspek kehidupan
sehari-hari. Karya-karya kontroversial berada di wilayah politik estetik
dan estetik politik.
Dari gagasan-gagasan tersebut telah
melahirkan pemikiran tentang estetika sosial (Berleant, 2005, 2010),
karena pengalaman individu berhadapan dengan pengalaman individu
lainnya. Estetika Sosial mungkin bukan gagasan baru tetapi, diangkat
kembali, dengan pendekatan filsafat fenomenologi, empirisisme dan
pragmatik (3), setelah paradigma estetika lainnya, mungkin
dianggap menutup kemungkinan berbagai gagasan lainnya, terutama di
wilayah inderawi kita yang hingga ini masih mengalami hirarkhi,
peninggalan pemikiran Aristoteles.
2. ESTETIKA SOSIAL DAN SENI RUPA Yang
dimaksud dengan estetika sosial adalah segala bentuk pengalaman,
individu terhadap lingkungan, juga lingkungan sosial. (Berleant,dalam
Light and Smith, 2005, 31). Estetika berada di wilayah pengalaman
sehari-hari terkait lingkungan hidup manusia, baik alam maupun sosial.
Manusia terikat dengan lingkungannya. Estetika sehari-hari telah
memunculkan bidang estetika lingkungan, juga estetika sosial. Didukung
oleh kekuatan pengalaman, baik pengalaman yang transenden (spiritual)
maupun inderawiah sehari-hari, yang tidak selalu indah,bisa jelek (ugly)
bahkan mungkin menjijikan (disgusting). Estetika menawarkan kriteria
kuat tentang nilai. Pengalaman memiliki dua aspek penting yaitu inderawi
dan makna. Pengalaman ini objeknya dapat berupa karya seni, alam,
lingkungan maupun dunia sosial. Dunia ini adalah dunia pengalaman.
Membicarakan
karya seni rupa berciri kontekstual, adalah melampaui karya itu
sendiri. (Berleant dalam Light and Smith, 2005, 43) Estetika sosial
adalah estetika dari situasi dan kondisi yang bersifat kontekstual
(ibid, 49), terhadap hal yang paling sering dialami, dilihat, didengar,
dirasakan secara intens baik dari sisi penciptaan maupun apresiasi.
Karya seni rupa dianggap representasi realitas, termasuk representasi
realitas sosial. Gagasan tentang representasi hanya merupakan salah satu
dari teori penggambaran realitas melalui karya seni rupa, karena
anggapan-anggapan yang lain, seperti peniruan realitas (mimesis),
penyembunyian realitas (lewat simbolisasi), dan penciptaan realitas
(konstruksi, simulasi) merupakan anggapan-anggapan lain yang dapat
memiliki kedudukan yang sama. Untuk membahas tentang realitas, maka
anggapan mana yang akan menjadi dasar pemikiran kita menjadi penting.
Mungkin saja para seniman tidak memikirkan hal ini dalam berkarya, akan
tetapi para kritikus dan teoretikus lah yang mungkin melakukan hal
tersebut.
Berleant (2010) menyatakan pengalaman inderawi tidaklah
selalu bersifat positif, dan jika itu melukai hati, menyakitkan,
mempunyai efek yang jahat dan merusak, pengalaman estetik ini membawa
pada wilayah negatif. Nilai estetik juga dapat tampil secara tidak
memuaskan, menyakitkan, jahat bahkan menghancurkan. Kepekaan inderawiah
diliputi dengan nilai negatif.
3. AKAR ESTETIKA SOSIAL: Kepekaan inderawi individu dan kepekaan sosial yang berciri Etis. Hal
yang dapat dikatakan sebagai akar dari kemampuan menginderai lingkungan
sosial, adalah bagaimana mendidik penglihatan. Dalam pengantar bukunya,
Ken Smith et al, 2005, mengutip Richard Gregory (Psikolog dari aliran
empirisisme), menuliskan bahwa kita begitu terbiasa dengan kegiatan
melihat sehingga kita tidak pernah membayangkan untuk menyadari bahwa
terdapat persoalan yang harus diselesaikan di wilayah itu. Sementara
anak manusia belajar bagaimana berjalan, belajar berbicara atau pun
membaca, kita tidak pernah belajar untuk melihat. Jika di wilayah bahasa
tulis ada istilah buta huruf (illiterate) dan ‘melek huruf ‘
(literate), maka di wilayah rupa/visual terdapat istilah ‘melek visual’.
Sebagai sebuah konsep dalam komunikasi visual, visual literacy adalah
kesadaran penglihat atas kesepakatan (convention) melaluinya makna citra
atau gambar visual diciptakan dan difahami. (4) Sama dengan di
wilayah bahasa tulis, maka faktor yang sama adalah bahwa ‘melek visual’
ini juga persoalan ketrampilan yang dipelajari.
Di samping
mendidik penglihatan, terdapat gagasan tentang ‘perhatian’ (attention)
dalam kaitan dengan pengalaman inderawi di wilayah sosial. Psikologi
William James (5) adalah salah satu bidang ilmu yang sangat
menekankan pentingnya perhatian dalam proses persepsi dan kognisi. Dalam
fenomenologi, yang menjadi dasar dari estetika sosial Berleant adalah
pengalaman subjektif yang didasarkan pada tindakan merujuk. Pengalaman
kesadaran adalah tentang sesuatu, tentang objek atau peristiwa.
Pengalaman tentang sesuatu ini disebut dengan intensionalitas.
Intensionalitas dalam fenomenologi tidak dapat dilepaskan dari gagasan
‘having attention’ secara psikologis.
Cara kerja kesadaran
terkait dengan perhatian cukup problematik. Susan Blackmore (2004,116)
mempertanyakan apakah kesadaran yang mengarahkan perhatian ataukah
kesadaran merupakan hasil dari memberikan perhatian ataukah bukan
keduanya? Blackmore pun mengutip William James tentang ‘perhatian’ ini,
yaitu bahwa:
Everyone knows what attention is. It is the
taking possession by the mind, in clear and vivid form, of one out of
what seems several simultaneously possible objects or trains of thought.
Focalization, concentration, of consciousness are of its essence. It
implies withdrawal from some things in order to deal effectively with
others. (6) Tidak ada proses kesadaran tanpa
perhatian. Tetapi terdapat pertanyaan mendasar, apakah kita yang memberi
perhatian ataukah sesuatu yang menarik perhatian kita? Menurut James,
perhatian dapat bersifat pasif, tidak sengaja, tanpa usaha, atau
perhatian dapat bersifat aktif dan disengaja (voluntary). Perhatian yang
disengaja selalu diperoleh (derived), kita tidak pernah berusaha
memperhatikan suatu objek kecuali demi suatu ketertarikan tertentu yang
masih samar untuk dihubungkan dengan hal menarik secara langsung. Efek
langsung dari perhatian adalah kegiatan mempersepsi, menangkap,
membedakan, mengingat, dan reaksi waktu yang lebih pendek. Kedekatan
merupakan ciri proses perhatian, melalui akomodasi dan penyesuaian organ
inderawi dan persiapan antisipasi dari dalam untuk pusat ideasional
terkait dengan objek perhatian yang kita tuju. James menyatakan tentang
apa yang disebut sebagai persiapan ideasional: ”The effort to attend
to the marginal region of the picture consist in nothing more or less
than the effort to form as clear an idea as is possible of what is there
potrayed.” (7) Perhatian sebagai ciri yang mendasari
psikologi dan fenomenologi merupakan hal penting yang kurang dibahas
secara filosofis, saat ini menjadi dasar bagi estetika sosial. Pada
akhirnya estetika adalah teori tentang perhatian dan kepekaan
(sensibility), Kepekaan individu dan sosial (individual and social
sensibility), yang merupakan akar dari daya kemampuan untuk kepekaan
etis. Kepekaan individual dan kepekaan sosial yang berciri etis.
Bagaimana kita peduli dengan perilaku dan kondisi sosial kita?
4. ESTETIKA (KEPEKAAN) SOSIAL SEBAGAI KEPEDULIAN Perhatian
melahirkan kepedulian terhadap suatu hal atau objek. Kepedulian lebih
sering dikaitkan dengan etika daripada estetika.Kepedulian melibatkan
perhatian, simpati dan empati serta tindakan tertentu yang terkait
dengan perilaku moral. Tidak terlalu banyak orang yang memberikan
perhatian pada proses bagaimana hingga orang menjadi peduli. Kepedulian
berawal dari sense (estetik) yang dimulai dari indera penglihatan, yang
akan membentuk sensitivity dan sensibility.
Untuk alasan
tersebut di atas dalam subbab ini akan dibahas hubungan antara estetik
dan kepedulian dalam wilayah etik yang nantinya akan dibawa ke ranah
sosial. Dalam buku Aesthetics and Ethics, Essays in the Intersection, (8) Jerrold
Levinson menyatakan bahwa pertemuan antara estetika dan etika, terdapat
pada tiga wilayah penelitian. Pertama, adalah persoalan estetika dan
etika sebagai cabang teori nilai dalam filsafat (axiology). Kedua,
isu-isu etis di wilayah estetis, terkait dengan praktek seni. Dan
ketiga, adalah isu estetik di wilayah etik. Pada umumnya pemikir
memberikan perhatian pada yang pertama dan kedua, tetapi tidak ada
tulisan menyangkut yang ketiga.
Atas dasar temuan Levinson
tersebut, penulis mencoba mengisi bagian ketiga tersebut dengan membahas
persoalan estetika di wilayah etika, khususnya etika hidup bersama
dengan mengangkat kembali istilah yang telah ada dalam bahasa Indonesia (9) yaitu
“meng’indah’kan” yang berarti memberikan perhatian secara inderawi
sekaligus berciri mempedulikan terhadap sesuatu atau terhadap orang
lain, di ranah hidup bersama orang lain (sosial). Di sini, mengindahkan
yang berarti mempedulikan dapat berarti membuat indah dalam hubungan
dengan sesuatu atau orang lain. Proses estetik berlangsung dan
menghasilkan yang etik.
Kepedulian Pada Perbedaan di wilayah sosial Berangkat
dari perbedaan dalam melihat, yang melahirkan perbedaan dalam persepsi,
sudut pandang dan melebar pada perbedaan pandangan dunia, yang
sebetulnya persoalannya telah diungkapkan secara implisit melalui cara
pandang terhadap dalam seni, tulisan ini bermaksud mengangkat persoalan
penghargaan terhadap perbedaan melalui estetika sosial.
Mitos
equality yang selalu menyertai manusia menjadikan manusia berada pada
gerak antara ingin dianggap sama tetapi ingin sekaligus dianggap berbeda
untuk menunjukkan identitas diri, karena makna identitas adalah ‘sama
dengan dirinya sendiri’. Manusia selalu memandang diri dan orang lain
(the other) tidak dengan standar yang sama. Penerapan pemahaman terhadap
orang lain akan selalu menggunakan standar ganda. Ini menjadikan
kegagalan pemahaman terhadap orang lain karena selalu diukur melalui
diri sendiri ala idola-idola Francis Bacon.
Sejarah telah
membuktikan bahwa umat manusia sulit sekali belajar tentang perbedaan
ini. Dimulai dari lamanya membedakan antara manusia dan non-manusia,
untuk merendahkan manusia lain, terutama terhadap perempuan. Bahwa
Aristoteles sang bijak merendahkan perempuan, dan disamakan dengan
budak. (10) Bahkan ia mengusung perbudakan untuk
melanggengkan cara hidup yang didasarkan pada rasionalitas. Persoalan
perbudakan ini baru disahkan secara hukum lebih dari tujuh belas abad
kemudian di Amerika. Lalu anggapan bahwa orang dari wilayah lain lebih
rendah derajatnya, (Yunani: barbaros). Bahwa satu kelompok atau kelas
merasa lebih tinggi dan merendahkan yang lain sehingga
mengeksploitasinya (Marx). Dan bahwa individu tidak sama terutama jika
di kaitkan dengan pendidikan dan opini politiknya.
Salah satu
sebab kegagalan melihat perbedaan ini adalah keinginan manusia untuk
menjadi sama. Mitos equality yang menjadi jiwa demokrasi mewarnai
pemikiran manusia. Kegagalan cita-cita ini disebabkan oleh cara berpikir
manusia yang tidak keluar dari dirinya, seperti yang telah lama menjadi
persoalan seperti yang dipikirkan Francis Bacon tersebut. Selalu
digunakan standar ganda dalam menangani persoalan di wilayah publik.
“Apa yang harus kau lakukan tidak harus kulakukan. Apa yang kulakukan
sudah benar adanya.” Sementara praktek ‘verstehen’ (memahami) di tingkat
teoretis maupun praktis seperti yang dicita-cita hermeneutika ilmu-ilmu
humaniora, belum pernah berjalan mendekati pencapaiannya. Mungkin kita
harus selalu sadar untuk mempraktekkannya. Cita-cita demokrasi yang
berdasar mitos equality namun menyadari perbedaan lewat identity masih
merupakan problem besar kemanusiaan. Demokrasi di wilayah estetik visual
belum terjadi. Bersit-bersit ke arah itu telah mulai muncul di era
posmodern, tetapi tidak kurang yang melahirkan kekerasan di berbagai
wilayah di dunia ini.
5. ESTETIKA (KEPEKAAN) SOSIAL: Positif dan Negatif Perhatian
melahirkan kepedulian terhadap suatu hal atau objek. Kepedulian lebih
sering dikaitkan dengan etika daripada estetika. Kepedulian melibatkan
perhatian, simpati dan empati serta tindakan tertentu yang terkait
dengan perilaku moral. Tidak terlalu banyak orang yang memberikan
perhatian pada proses bagaimana hingga orang menjadi peduli. Kepedulian
berawal dari sense yang dimulai dari indera penglihatan, yang akan
membentuk sensitivity dan sensibility.
Kepekaan ini tidak hanya
bersifat afirmatif-positif melainkan dapat bersifat negatif. (Berleant:
2010). Masih tampak asing bagi kita untuk berbicara tentang estetika
negatif, pada bidang yang terbiasa berbicara tentang kekayaan nilai seni
dan keindahannya. Tetapi nilai estetik tidak lagi bicara tentang nilai
museum (di Indonesia kesadaran tentang museum mulai berkembang),
dorongan yang indah-permai dimana nilai estetik seni dianggap tinggi dan
terpisah dan tidak berbahaya. Pada kenyataannya, telah terjadi konflik
nyata antara nilai estetik dengan nilai moralitas, agama, ekonomi,
lingkungan dan kehidupan sosial. Kita dapat berbicara tentang nilai
estetik negatif, ketika pengalaman bersifat tidak menyenangkan, menekan,
atau berbahaya. Pengalaman estetik tidak selalu ramah. Estetika negatif
meliputi nilai negatif. Estetika negatif adalah wakil untuk moral dan
diterapkan pada persoalan sosial.
Apa sebetulnya yang dimaksud
dengan negativitas estetik dan apa situasi yang negatif itu? Tampaknya
tidak mungkin membicarakan estetika negatif dari sudut estetika modern.
Bagaiman mungkin nilai keindahan dan seni adalah negatif? Nilai estetik
dapat hadir secara tidak memuaskan, menyakitkan, menekan, dan bahkan
dengan cara merusak. Nama dari pengalaman inderawiah yang tidak
melahirkan nilai positif yang jelas, berada di bawah ‘keindahan’,
dinamakan Berleant sebagai pengalaman estetik negatif. Nilai berada
inheren dalam lingkup dan situasi estetik. Nilai-nilai negatif seperti
basi, rusak, dangkal, menyerang, menghina, bahkan jahat, semuanya berada
di ranah pengalaman, karena nilai estetik berpusat pada persepsi
inderawi. Estetik negatif ini yang paling terasa pada lingkungan. Polusi
adalah estetik negatif.Tak ada yang menolak bahwa polusi udara adalah
gangguan lingkungan. (Memang akan menjadi berbeda jika gangguan tersebut
ditesuri pada asal-usulnya, misalnya menyangkut kebijakan publik
pemerintah tentang penggunaan kendaraan bermotor, antara produksi dan
konsumsinya yang mengakibatkan polusi udara).
Estetika tragedi
dapat dikatakan sebagai negativitas estetik. Bagaimana orang dapat
menikmati karya-karya tragis? Apakah mereka bersimpati dan berempati
kepada yang tertimpa tragedi lalu bergembira bahwa tragedi itu tidak
menimpanya? Tetapi itu dalam karya seni. Saat ini mulai terjadi
penikmatan tragedi bukan di wilayah karya, sebagai suatu genre seni,
tetapi juga di wilayah faktual. Orang berwisata dan berfoto-ria, di
wilayah bencana. Bahkan seorang Komposer Karlheinz Stockhausen,
menyatakan bahwa penyerangan terhadap WTC New York, September 2001,
sebagai ‘the greatest work of art ever’. Meskipun orang terperangah,
tetapi ia tidak dihargai. (11) Batasan seni dan estetika dipertanyakan kembali. Dan realitas selalu berwajah dua.
6. ESTETIKA SOSIAL KARYA SENI RUPA: ‘Mengabadikan’ atau ‘Melanggengkan’ Realitas Sosial?
Sub-judul
diatas menggunakan dua kata bentukan yang arti harfiahnya asal katanya,
‘abadi’ (bahasa Indonesia) dan ‘langgeng’ (serapan dari bahasa Jawa)
kurang lebih sama Tetapi dalam anggapan penulis dua kata tersebut
memiliki perbedaan konotasi makna. Mengabadikan, sering dianggap sebagai
membuat sesuatu berlangsung lama, menjadi abadi dengan niat karena
tidak dapat diulang dan karena ada makna positif di sana, sebagai bentuk
pembelajaran dari masa lalu/sejarah. Melanggengkan memiliki makna ingin
membuatnya berlangsung lama karena adanya ketidak-tahuan, atau
kesengajaan agar sesuatu terus terjadi dalam makna peyoratif atau
negatif. Subjudul di atas merupakan pertanyaan kritis terhadap fenomena
karya seni rupa, dan juga pada senimannya, kurator, institusi, dll.
Dengan berbagai teori seni yang mendasarinya terkait proses penciptaan
karya (mimesis, representasi, simbolisme dan simulasi).
Terkait
dengan keindahan karya, masih menjadi pertanyaan, ‘keindahan’ itu ada
dimana? Pada karya (objek) atau pada penglihatnya? Jika pada karya, yang
oleh orang lain dikatakan tidak indah, bahkan jelek (ugly) dan
menimbulkan perdebatan, bukankah keindahan itu adalah konsep yang sangat
subyektif? Terkait dengan objek atau apa yang disebut karya seni, seni
telah memasuki wilayah definisi yang sangat luas. (12) Jika dikaitkan dengan tema Pameran Seni Rupa Nusantara ‘Meta-Amuk’ yang
mencoba mengkritisi realitas sosial (politik), budaya, yang tergambar
dalam karya-karya seni rupa perupa Nusantara, maka pedapat dipertanyakan
kembali proses kreatif yang dijalani oleh para seniman. Kita tidak
memungkiri ketulusan dan ‘independensi’ seniman dalam berkarya (meskipun
ada kondisi yang berbeda dari hal ini), tetapi efek sosial (politik)
budaya, yang ditimbulkannya, akan dapat menjadi lain oleh narasi para
kurator, institusi, akademisi dan juga pasar.
Pengalaman dianggap
mendahului dan melampaui suatu karya seni, demikian juga pada seni
rupa. Pengalaman yang mendahului,dan yang melampaui dapat berada di
wilayah seniman dan penikmat karya tersebut. Dua sisi yang tak dapat
dilepaskan dari adanya sebuah karya seni. Dalam ranah estetika,
pengalaman estetik bersifat langsung, sebelum dapat menjadi berbeda
karena proses konseptualisasi, dan penilaian (judgment), dan berbagai
kondisi yang melatar belakanginya (usia, pendidikan, ras, kelas, gender,
dan budaya).
Mungkin sudah tiba saatnya kita perlu mengubah
paradigm-paradigma tertentu dalam berbagai bidang kehidupan yang telah
membatu dan menjadi mitos-mitos baru. Yang pertama adalah pemahaman kita
tentang realitas. Realitas ini pemahamannya milik siapa? Realitas ini
sungguh ada atau ilusi belaka, dan kalau ilusi apakah salah? Tentu ini
bidang yang sangat filosofis, tapi tentu kita dapat saja
mengkonstruksinya berdasarkan cara pandang dunia yang kita jalani. Yang
kedua tentang realitas sosial. Realitas sosial begitu luas.Dalam makalah
ini disesuai dengan turunan tema ‘meta amuk’, yang dalam pemahaman
penulis adalah realitas sosial sebagai konflik sosial, yang mungkin
bersifat politik, budaya (dapat bermakna gagalnya hidup bersama orang
lain,atau dalam arti pengaruh perseteruan ideologi tertentu), karena
dikaitkan dengan situasi sosial politik menjelang pemilu 2014. Yang
ketiga adalah wilayah studi estetika. Paradigma Estetika kini bukan
hanya keindahan dan karya seni, tetapi telah kembali pada pengertian
awalnya tentang pengalaman inderawi. Pengalaman inderawi yang dialami
oleh manusia, menimbulkan pengetahuan, penilaian, yang tidak murni
berdiri sendiri pada individu, tetapi berefek sosial (dan tentu politik)
dan budaya .Yang keempat adalah bidang seni rupa sebagai bentuk karya
ciptaan manusia (dalam hal ini seniman/perupa). Bagaimana keberadaan
karya tersebut, secara ontologis, dan secara estetis dan secara sosial?
Sesungguhnya karya seni rupa (kontektual) ada dimana? Pada lukisan itu
sendiri (form), pada isi, tema (content) atau pada konteksnya atau pada
interpretasi terhadapnya? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak lepas dari
pengaruh gagasan dekonstruksi Derrida yang menanggap bahwa makna itu
tidak bersifat stabil, melainkan labil, berubah terus sesuai konteksnya (13), untuk tidak menjadi jejak yang sulit dihapus dan membatu menjadi mitos baru.
Mengambil contoh karya lukis Dunia, karya Pablo Picasso (1881-1973), Guernica, (Wikipedia:
oil on canvas, 349 x 776 cm, warna : abu-abu, hitam, putih, 1937,
Museum Reina Sofia, Madrid, Spanyol). Karya ini dianggap telah berjasa
dalam menggambarkan peristiwa pengeboman Guernica, sebuah desa di
Spanyol, yang mengakibatkan korban masyarakat sipil yang tak berdosa.
Guernica menggambarkan penderitaan manusia, binatang dan bahkan bangunan
yang hancur oleh kekerasan dan kekacauan.banyak interpretasi yang
dilontarkan terhadap karya tersebut. Namun interpretasi saling berbeda
dan bahkan berlawanan. Picasso sendiri mengatakan bahwa ia menggambar
apa yang ia gambar. Interpretasi mungkin juga benar.
Akan tetapi
bukankah karya ini mengingatkan secara terus menerus akan peristiwa yang
menyakitkan dan menghancurkan manusia. Efek mengingatkan dapat
membentuk estetik positif atau pun negatif, kecuali kita pelupa.
Positif, jika menjadikan pembelajaran agar hal tersebut tidak terjadi
lagi. Negatif merupakan bentuk pembelajaran akan apa yang pernah
dilakukan dalam sejarah tentang perang dan kebencian terhadap sesama
manusia dan perlu dipertahankan demi harga diri?
7. KESIMPULAN Membahas
estetika sosial dalam seni rupa, adalah kembali kepada estetika
kontekstual. Estetika berbicara tentang pengalaman, dimulai dari
pengalaman inderawi yang bersifat kontekstual dengan lingkungan,
lingkungan alam, lingkungan sosial, berdasarkan kepekaan inderawi
individu seniman atas keadaan di sekitarnya, atas situasi sosial yang
berlangsung, yang berakar pada kepekaan etis. Meskipun lalu ada
pertanyaan tentang lalu karya seni rupa ada dimana? Apa batas-batasnya
jika yang dibicarakan adalah hal-hal di luar karya? Namun akan ada
jawaban bahwa karya seni rupa melampaui karya tersebut (beyond the work
of art), atau meta-karya seni rupa, yang dapat berisi meta-amuk.
Terdapat
dua model estetika sosial positif dan dan negatif, tetapi intinya
adalah mengacu pada tuntutan kenyamanan dan keadilan secara sosial.
Pengalaman akan yang tidak menyenangkan dapat diterjemahkan ke dalam
‘keindahan’ pengalaman individual yang bersifat subjektif. Mungkin apa
yang disampaikan Plato dalam Politeia masih berlaku disini, bahwa
keindahan, bukan hanya ada pada materi dan ide, tetapi keindahan
tertinggi adalah ‘keadilan dalam Negara’ (justice in a State), dalam
ranah hidup bersama orang lain. *** Tulisan ini telah dipresentasikan dalam acara "Temu Perupa", Rabu, 8 Mei 2013 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Catatan Kaki: (1)
Lihat buku Brita L. Miklouho-Maklai, Menguak Luka Masyarakat, Beberapa
aspek Seni Rupa Kontemporer Indonesia Sejak 1966, PT Gramedia Pustaka
Utama, 1997
(2) Dari bahasa Yunani aesthēsis yang artinya menginderai (dalam bahasa Inggris diartikan: to sense, to perceive, to feel).
(3) Berleant, Arnold, 2010, hal.9
(4)
Messaris and Moriarty, Visual Literacy Theory, dalam Ken Smith et al, A
Handbook of Visual Communication, Lawrence Erlsbaum Associates
Publishers, 2005, hal.481-502, dikutip ulang dari Disertasi penulis.
(5)
James, William. Mortimer J. Adler, ed.in chief, Great Books of Western
World, no.53, bab XI, Attention, hal 260-298, dikutip ulang dari
disertasi penulis
(6) Balckmore, Susan, Consciousness, An
Introduction, Oxford University Press, 2004, hal 51., terjemahan
kutipan: ”Setiap orang tahu apa itu perhatian. Ia adalah pengambilan hak
oleh kesadaran dalam bentuknya yang kuat dan jelas, satu dari apa yang
tampaknya merupakan jalan pikiran dan objek yang hadir secara simultan.
Fokalisasi, konsentrasi kesadaran adalah esensinya. Ia mengimplikasikan
ketidakperhatian terhadap sesuatu agar dapat berurusan secara efektif
dengan lainnya.” Dikutip ulang dari Disertasi penulis, dengan perbaikan.
(7)
Op.Cit., hal.285, terjemahannya: “Usaha untuk memperhatikan bagian
pinggir lukisan terdapat pada usaha untuk membentuk sejelas mungkin
gagasan tentang apa yang digambarkan di sana”, dikutip ulang dari
disertasi penulis dengan perbaikan/revisi
(8) Levinson, Jerrold, Ed., Aesthetics and Ethics, Essays in the Intersection, Cambrigde University Press, 2001, hal. 1
(9)
Dalam KBBI, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2007, pada
halaman 429, disebutkan arti kata indah: 1. kata sifat, dalam keadaan
enak dipandang; cantik; elok 2. kata kerja, peduli (akan); menaruh
perhatian (akan); mengindahkan : memedulikan; memerhatikan; meresapkan
ke dalam hati (nasihat dsb). Dikutip dari Disertasi penulis dengan
perbaikan.
(10) Arivia, Gadis, Filsafat berperspektif Feminis,
Yayasan Jurnal Perempuan, 2003, bagan 2 Pendapat Filsuf Laki-laki
tentang Perempuan Sepanjang Masa, hal. 75, dikutip ulang dari Disertasi
penulis.
(11) Danto, Arthur C., The Abuse of Beauty, Carus Publishing Company, Sixth Printing, 2006, hal.18
(12)
Mengacu pada buku-buku: Cythia Freeland, But Is It Art? (2001); Arthur
C.Danto, The Abuse of Beauty, (2003) dan Carolyn Korsmeyer, Gender and
Aesthetics,(2004) dalam bab 5, What is Art (art is what?)
(13).
Eaton, Marcia Muelder, Basic Issues in Aesthetics, terjemahan Embun
Kenyowati, Persoalan-Persoalan Dasar Estetika, Salemba Humanika, 2009
DAFTAR PUSTAKA Berleant, Arnold, Sensibility and Sense, The Aesthetic Transformation the of Human World, Imprint Academic, 2010
Blackmore, Susan, Consciousness, An Introduction, Oxford University Press, 2004
Danto,Arthur C., The Abuse of Beauty, Aesthetics and The Concept of Art, Carus Publishing Company, 4th printing, 2006
Eaton,
Marcia Muelder, Basic Issues in Aesthetics, terjemahan Embun Kenyowati,
‘Persoalan-Persoalan dasar Estetika’, Salemba Humanika, 2009
Embun
Kenyowati E., “Ilusi Dalam seni, dari Seni Visual ke Teori-Teori Seni
dan Implikasinya bagi Pendidikan”, Disertasi, dengan Promotor
Prof.Dr.Toeti Heraty Noerhadi dan Ko-Promotor Prof.Dr.Alois Agus
Nugroho, 2009 (catatan : beberapa bagian dari tulisan ini mengutip
disertasi pribadi penulis, belum pernah dipublikasikan,dengan
perbaikan/revisi).
Freeland, Cynthia, But Is It Art? Oxford University Press, 2001
Korsmeyer,Carolyn, Gender and Aesthetics, An Introduction, Routledge, Taylor and Francis Group, 2004
Kraut, Robert, Artworld Metaphysics, Oxford University Press, 2007
Light, Andrew, and Smith, Jonathan M.,(Eds), The Aesthetics of Everyday Life, Columbia University Press, 2005
Miklouho-Maklai,
Brita L., Menguak Luka Masyarakat, Beberapa Aspek seni Rupa
Kontemporer Indonesia, Sejak 1966, Terjemahan Joebaar Ajoeb, Gramedia
Pustaka Utama, 1997
Rancière, Jacques, The Future of the Image, Translated by Gregory Elliott, English Edition by Verso, 2007
Shaviro, Steven, Without Criteria, Kant, Whitehead, Deleuze and Aesthetics, MIT, 2009
|
infonya ok bgt..
BalasHapus